Rabu, 11 Juni 2014

Contoh-Contoh Pasal-Pasal UU ITE

1. Pasal 30 ayat (1) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apapun”.
2. Pasal 30 ayat (2) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”.
3. Pasal 30 ayat (2) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.
4. Pasal 31 ayat (1): “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronika dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik secara tertentu milik orang lain”.
5. Pasal 31 ayat (2): “Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau transmisi elktronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersidat publik dari, ke dan di dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, penghilangan dan atau penghentian informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ditransmisikan”.
6. Pasal 33 : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaiman mestinya”.
7. Pasal 34 ayat (1) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki.
8. Pasal 35 : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut seolah-olah data yang otentik”.
9. Pasal 46 ayat (1) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
10. Pasal 46 ayat (2) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”.
11. Pasal 46 ayat (3) : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
12. Pasal 49 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
13. Pasal 50 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Pengertian UU ITE

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

Tujuan Cyberlaw

Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyberlaw akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.

Topik-topik Cyberlaw

1. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
2. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
3. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
4. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
5. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Asas-asas Cyberlaw

1. Subjective territoriality
Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2. Objective territoriality
Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan. 
3. Nationality
Menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku. 
4. Passive Nationality
Menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban. 
5. Protective Principle
Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah. 
6. Universality
Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against 
humanity
), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.

Ruang Lingkup Cyberlaw

1. Hak Cipta (Copy Right).
2. Hak Merk (Trademark).
3. Pencemaran nama baik (Defamation).
4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech).
5. Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access).
6. Pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name.
7. Kenyamanan Individu (Privacy).
8. Prinsip kehati-hatian (Duty care).
9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat.
10. Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.
11. Kontrak / transaksi elektronik dan tanda tangan digital.
12. Pornografi.
13. Pencurian melalui Internet.
14. Perlindungan Konsumen.
15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti e-commerce, e-government, e-education, dll.

Pengertian Cyberlaw

Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyberspace (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu". Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini yuridis, cyberlaw tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dari sini lah cyberlaw bukan saja keharusan, melainkan sudah merupakan kebutuhan untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu dengan banyaknya berlangsung kegiatan cybercrime.

Perbedaan Antara Cybercrime dan Kejahatan Konvensional

Cybercrime
Kejahatan Konvensional
Terdapat penggunaan Teknologi Informasi
Tidak ada penggunaan TI secara langsung
Alat bukti: bukti digital
Alat bukti : bukti fisik(terbatas menurut pasal 184 KUHP)
Pelaku dan korban komputer berada dimana saja
Pelaku dan korban biasanya berada dalam  satu tempat
Pelaksanaan kejahatan : non fisik
Pelaksanan kejahatan : fisik (dunia”nyata”)
Proses penyidikan melibatkan laboratorium forensik komputer
Proses penyidikan melibatkan laboratorium komputer
Sebagian proses penyidikan dilakukan di cyberspace : virtual undercover
Proses penyidikan dilakukan di dunia “nyata”
Penangan komputer sebagai TKP (cryme scene)
Tidak ada penanganan komputer sebagai TKP
Dalam proses persidangan, keterangan ahli menggunakan ahli TI
Dalam Proses persidangan, keterangan ahli tidak menggunakan ahli TI.

Kategori Cybercrime

1. Kategori pertama adalah kejahatan dengan kekerasan atau secara potensial mengandung kekerasan seperti : cyberterorism, assault by threat, cyberstalking dan child pornography. Kategori ini menjadikan kejahatan komputer sebagai sesuatu yang dapat menciptakan korban kekerasan baik masyarakat, keluarga, individu maupun anak-anak.

2. Kategori kedua adalah kejahatan komputer tanpa kekerasan yang meliputi cybertrespass, cybertheft, cyberfraud, destructive cybercrimes dan other nonviolent cybercrimes. Kejahatan komputer dalam kategori ini terfokus pada kegiatan yang tidak menimbulkan kekerasan fisik. Beberapa diantaranya berakibat di cyberspace dan lainnya juga berakibat langsung di dunia nyata.

Bentuk-Bentuk Cybercrime

1. Unauthorized Acces to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan yang dimasuki.
2. Illegal Content
Kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
Contoh : Pornografi, pencemaran nama baik.
3. Data Forgery
Kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.
4. Cyber Espionage
Kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan memata-matai terhadap pihak lain dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran.
5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
6. Offense Against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet.
7. Infrengments of Piracy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal sangat pribadi dan rahasia.

Pengertian Cybercrime

            Cybercrime dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal dengan perantara komputer atau peralatan lainnya yang mendukung sarana teknologi seperti handphone, smartphone, laptop dan lainnya yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronika global, atau suatu upaya memasuki/menggunakan fasilitas komputer/jaringan komputer tanpa ijin dan melawan hukum atau tanpa menyebabkan perubahan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau diguanakan tersebut atau kejahatan yang dengan menggunakan sarana media elektronik internet (merupakan kejahatan dunia alam maya) atau kejahatan dibidang komputer, yang mencakup segala bentuk kejahatan yang menggunakan bantuan sarana media elektronik internet.

            Dengan demikian cybercrime merupakan suatu tindak kejahatan di dunia maya, yang dianggap bertentangan atau melawan undang-undang yang berlaku. Perbedaannya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari dari kemampuan serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknology komunikasi yang semakin canggih, sebagai contoh komunikasi melalui internet membuat pelaku kejahatan lebih mudah beraksi melewati batas Negara untuk melakukan kejahatannya tersebut. Internet juga membuat kejahatan semakin terorganisir dengan kecanggihan teknologi guna mendukung dan mengembangkan jaringan untuk perdagangan obat, pencucian uang, perdagangan senjata illegal, penyelundupan , dll.